The Free Aceh Movement (GAM) : anatomy of a separatist organization
The
province of Aceh is located on the northern tip of the island of
Sumatra in the Indonesian archipelago. Since 1976 it has been wracked by
conflict between the Free Aceh Movement (Gerakan Aceh Merdeka; GAM),
which is seeking to establish an independent state, and the Indonesian
security forces seeking to crush this bid. At the heart of the conflict
are center/periphery relations and profound Acehnese alienation from
Jakarta. These problems date back to promises made by Indonesia's first
president, Sukarno, to give Aceh special status in recognition of its
contribution to the struggle for Indonesian independence. The promises
were broken almost immediately. Acehnese efforts to safeguard their
strong regional and ethnic identity derived from Aceh's strict adherence
to Islam and its history of having been an independent sultanate until
the Dutch invasion in 1873 presented too much of a challenge to
Sukarno's "secular" Indonesian nation-building project. They were also
an obstacle to the highly centralized developmentalist ideology of his
successor, President Suharto. Political grievances were further
underscored by perceptions of economic exploitation since the mid-1970s
and Jakarta's security approach to deal with the insurgency rather an
addressing the reasons for the widespread alienation from Jakarta.
Gerakan Aceh Merdeka (GAM): bagian dari sebuah organisasi separatis
Provinsi Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera di kepulauan Indonesia. Sejak
tahun 1976 telah hancur oleh konflik antara Gerakan Aceh Merdeka
(GAM), yang berusaha mendirikan negara merdeka, dan pasukan keamanan
Indonesia yang berusaha menghancurkan tawaran ini. Inti dari konflik adalah hubungan pusat / pinggiran dan pengasingan Aceh yang mendalam dari Jakarta. Masalah-masalah
ini berasal dari janji-janji yang dibuat oleh presiden pertama
Indonesia, Soekarno, untuk memberikan status khusus Aceh sebagai
pengakuan atas kontribusinya terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Janji-janji itu dilanggar. Upaya Aceh untuk menjaga identitas daerah dan etnis mereka yang kuat yang
berasal dari ketaatan Aceh terhadap Syariat Islam dan sejarahnya sebagai
kesultanan yang independen sampai invasi Belanda pada tahun 1873
memberikan terlalu banyak tantangan bagi proyek pembangunan nasional
Indonesia "sekuler" Sukarno. Mereka juga menjadi penghambat ideologi developmentalist yang sangat tersentralisasi dari penggantinya, Presiden Suharto. Ketidakpuasan
politik lebih jauh ditegaskan oleh persepsi eksploitasi ekonomi sejak
pertengahan tahun 1970-an dan pendekatan keamanan Jakarta untuk
menangani pemberontakan, bukan dengan membahas alasan-alasan
keterasingan yang meluas dari Jakarta.